TEOLOGI HINDU DALAM TRADISI TARI REJANG AYUNAN DI DESA PAKRAMAN BANTIRAN KECAMATAN PUPUAN KABUPATEN TABANAN
Keywords:
Orang-orang Hindu Bali tidak boleh melepaskan adat istiadat mereka yang dianggap memiliki nilai moral dan religius. Dalam masyarakat Hindu Bali tradisi memiliki banyak bentuk yang dikemas dalam melakukan ritual keagamaan melalui Panca Yadnya. Salah satu contohnya adalah Tari Rejang Ayunan yang dilakukan di Pura Puseh Bale Agung Desa Pakraman Bantiran selama serangkaian piodalan Ngusaba Agung. Masyarakat Desa Pakraman Bantiran memiliki tradisi tari Rejang Ayunan yang dibawa dari generasi ke generasi. Tradisi ini telah berlangsung selama bertahun-tahun dan selalu diadakan setiap tahunnya pada purnama Kalima. Tarian Rejang Ayunan unik dan berbeda dari tari Rejang biasa, di mana penari biasanya adalah perempuan. Namun, tradisi ini dilakukan oleh remaja laki-laki (Truna). Ini membahas sejarah Tari Rejang Ayunan di Desa Pakraman Bantiran, Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan, serta bagaimana dan untuk tujuan apa itu dilakukan. Studi ini menerapkan metodologi kualitatif deskriptif. Data primer dan data sekunder adalah dua sumber data yang digunakan dalam penelitian ini. Teknik purposive snowball digunakan untuk memilih informan dalam penelitian ini. Wawancara, observasi, dan kepustakaan adalah metode yang digunakan untuk mengumpulkan data. Tetapi analisis data dimulai dengan pengumpulan, reduksi, penyajian, dan penarikan kesimpulan atau konfirmasi. Studi ini menemukan bahwa Tradisi Tari Rejang Ayunan mengandung teologi Hindu, yaitu Saguna Brahman, karena tarian ini terkait erat dengan upacara Dewa Yandya. Dalam pelaksanaannya, tradisi Rejang Ayunan selalu disertai dengan doa dan mantra, penggunaan tirta yang dipercikan oleh para penari sebelum mereka menari, dan perlengkapan yang digunakan seperti banten yang dibutuhkan sebelum dan sesudah ritual.Abstract
Orang-orang Hindu Bali tidak boleh melepaskan adat istiadat mereka yang dianggap memiliki nilai moral
dan religius. Dalam masyarakat Hindu Bali tradisi memiliki banyak bentuk yang dikemas dalam melakukan
ritual keagamaan melalui Panca Yadnya. Salah satu contohnya adalah Tari Rejang Ayunan yang dilakukan
di Pura Puseh Bale Agung Desa Pakraman Bantiran selama serangkaian piodalan Ngusaba Agung.
Masyarakat Desa Pakraman Bantiran memiliki tradisi tari Rejang Ayunan yang dibawa dari generasi ke
generasi. Tradisi ini telah berlangsung selama bertahun-tahun dan selalu diadakan setiap tahunnya pada
purnama Kalima. Tarian Rejang Ayunan unik dan berbeda dari tari Rejang biasa, di mana penari biasanya
adalah perempuan. Namun, tradisi ini dilakukan oleh remaja laki-laki (Truna). Ini membahas sejarah Tari
Rejang Ayunan di Desa Pakraman Bantiran, Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan, serta bagaimana
dan untuk tujuan apa itu dilakukan. Studi ini menerapkan metodologi kualitatif deskriptif. Data primer dan
data sekunder adalah dua sumber data yang digunakan dalam penelitian ini. Teknik purposive snowball
digunakan untuk memilih informan dalam penelitian ini. Wawancara, observasi, dan kepustakaan adalah
metode yang digunakan untuk mengumpulkan data. Tetapi analisis data dimulai dengan pengumpulan,
reduksi, penyajian, dan penarikan kesimpulan atau konfirmasi. Studi ini menemukan bahwa Tradisi Tari
Rejang Ayunan mengandung teologi Hindu, yaitu Saguna Brahman, karena tarian ini terkait erat dengan
upacara Dewa Yandya. Dalam pelaksanaannya, tradisi Rejang Ayunan selalu disertai dengan doa dan
mantra, penggunaan tirta yang dipercikan oleh para penari sebelum mereka menari, dan perlengkapan
yang digunakan seperti banten yang dibutuhkan sebelum dan sesudah ritual.



